Saturday, April 18, 2015

Beratnya tinggal di Asrama yang jauh dari Kampung Halaman

Readers mungkin belum tau bahwa aku bersekolah di SMA Semesta Bilingual Boarding School di Semarang. Dari tanah asalku, Balikpapan, berkelanalah aku ke Semarang seorang diri. Keputusan nekat dan sedikit bodoh, memang. Mengetahui bahwa aku adalah anak semata wayang tentu pada awalnya orang tua tidak menyetujui keputusan ini. Namun apadaya, setelah kuyakinkan bahwa cukup sulit dan berat untuk mendaftar ke sekolah ini dengan beasiswa hingga memperebutkan 40 kursi melawan siswa lain di Kalimantan Timur yang mana jumlah pendaftarnya waktu itu sekitar 300 orang, akhirnya mereka mengiyakan.


(Gambar dipotret oleh penulis dari pesawat LionAir melalui canon ixus, Balikpapan dari awan)




Alhasil aku harus rela berasrama disini. Keluar dari comfort zone ku saat SMP, dan harus pisah dengan orang tua dan sahabat di sana. Awal tinggal di asrama, aku cukup gaya (bahkan terlalu sok gaya -_-) bahwa aku bakal survive di sini dan bakal dapet temen yang bakal ngertiin kekuranganku. Satu bulan pertama, tepatnya Agustus 2014 aku masih merasa biasa saja. Tidur pun belum nyenyak selayaknya tidur biasa, sering sekali terbangun dan terjaga jika ada sedikit suara. Tidur malam menjadi makananku setiap hari. Bagaimana tidak? satu kamar yang dihuni oleh 7 orang yang selalu bersenda gurau hingga larut malam membuatku tidak bisa tidur cepat. Berbeda sekali dengan kondisiku saat di Balikpapan, tidur merupakan hal sepele karena hanya aku yang mendiami kamarku di sana.

(Gambar dipotret oleh penulis)

Saat ulang tahunku yang ke-15, pada 15 Agustus 2014, merupakan hal yang menyakitkan yang pernah ada. Pada tanggal itu juga, aku mengikuti seleksi tim olimpiade sekolah. Memang dasar karena ketidakfokusanku yang hanya memikirkan tentang pembagian hp saat pulang sekolah, aku tidak terpilih ke tim olimpiade. Aku juga dikerjai oleh teman-temanku. Kiriman paket hadiah dari mama disembunyikannya, padahal mama rela membayar lebih untuk paket cepat kilat :D


Satu bulan berlalu, pada November 2014 homesick mulai terasa. Sedih, nangis, galau, itu yang kurasakan. Sekolah pun tidak nyaman jadinya. Setiap istirahat, selalu meneteskan air mata mengingat hangatnya suasana rumah saat pulang sekolah tiba. Hal itu terus kualami hingga aku mengalami stres dan aku pun jatuh sakit. Aku terkena tipes waktu itu. Aku bingung, apakah karena faktor aku anak tunggal yang selalu diberi perhatian penuh oleh orang tua yang menyebabkan aku sangat kangen dengan mereka?
Keadaan itu terus berlanjut hingga November akhir. Perlahan perasaan menyesal memilih asrama jauh dari Balikpapan mulai pudar. Pada Oktober awal, ada libur 3 hari sehingga kami diperbolehkan pulang. Sebenarnya ada jatah pulang bagi siswi putri setiap dua minggu sekali, namun mau pulang ke mana aku kalau cuma 1 hari? Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Balikpapan. Benar-benar bahagia walau cuma 3 hari disana, saat balik ke Semarang, orang tuaku menangis tidak rela untuk berpisah lagi denganku. Aku meyakinkan mereka untuk bersabar dengan mengiming-imingi libur semester yang lamanya 2 minggu nanti. Saat di pesawat, menangis aku memandangi awan-awan di angkasa. Perih hatiku saat itu. 

Oktober pun lewat. Banyak insiden dan konflik yang kualami di asrama. Homesick kembali menyerang. Tambah menyakitkan rasanya. Tidak konsen belajar, mood yang selalu berubah-ubah, marah ada pada diriku saat itu.

Desember 2014 tiba. Bulan yang penuh kejenuhan. Penuh dengan tugas dan ulangan. Tidak main-main, ulangan pun selalu ada setiap hari. Sehari bisa 3 kali kami harus ulangan harian. Tugas kelompok juga cukup banyak. Namun pada bulan itu juga aku melaksanakan final test semester 1. Usai ulangan akhir, Semesta BBS punya acara yang namanya OSIS CAMP. Satu sekolah pergi ke Green Valley di Bandungan untuk kegiatan keagamaan selama 4 hari sambil menunggu raport. Bangun subuh, setelah itu disusul kegiatan hingga siang, istirahat hanya setengah jam, lanjut kegiatan lagi hingga ashar, istirahat dan mandi, kegiatan dari maghrib hingga jam 11 pun aku lalui dengan badan yang pegal linu. Capek! Satu-satunya kata yang selalu kuucap dalam hati tiap harinya. Kami juga diwajibkan membaca buku 4 jam sehari.
Aku tidak tahan. Vertigoku kambuh saat itu. Namun aku tetap memutuskan untuk bertahan. Hari kedua, kami mengunjungi Gedung Songo di Bandungan. 
(Foto sesaat sebelum kecelakaan kecil terjadi. Penulis berada di ujung kiri dalam foto dengan kerudung biru)

Untuk menelusuri candi-candi, kita harus berjalan kaki melalui jalan curam dan setapak. Sebenarnya kita bisa naik kuda, namun aku pikir untuk apa menghabiskan uang lagi. Lagian sekalian olahraga lah pikirku. 3 candi telah kulewati.
Saat aku berjalan menuju ke candi keempat, ada yang hinggap dikepalaku. Sesuatu yang berdengung. Lama kelamaan rasanya sakit sekali seperti ada yang menancap jarum di kepalaku. Refleks tangan ku mengusir hewan itu. Lalu tiba-tiba kepalaku sangat pedih sekali, begitu juga jempol tanganku. Saat kulihat astagfirullah, ternyata seekor tawon endas. refleks aku berteriak dan terjatuh. Lalu aku dituntun untuk duduk di tangga candi. Perih, sakit yang kurasa. Setengah jam aku menahan sakit ditemani teman-teman dari kelas lain. Tiba-tiba, aku teringat bahwa aku punya satu tablet paracetamol di tasku. Aku bergegas mengambil obat itu untuk mengurangi rasa sakit yang bersarang di kepala dan jempol. Aku bersyukur punya ibu yang bekerja sebagai perawat sehingga aku cukup tau banyak mengenai obat-obatan :)
15 menit aku masih menangis, namun rasa sakit tidak sesakit setengah jam pertama. Temanku mencoba menghubungi wali kelas mereka untuk menjemput, namun tidak ada sinyal mengingat kami berada di gunung waktu itu. namun dengan segala usaha akhirnya wali kelas mengirim suster sekolah untuk ke area kita saat itu.
Setelah itu, mereka bingung bagaimana aku menuruni bukit untuk ke bawah. akhirnya aku naik kuda untuk ke bawah. Kalian tau? Naik kuda dengan rasa sakit yang luar biasa terasa seperti dihempas di udara. Apalagi ditambah dengan medan curam karena sebelah kanan merupakan jurang yang sangat terjal. Pegangannya lebih kuat, mbak. Itulah kata yang selalu dilontarkan bapak penggiring kuda kepadaku. Dengan kondisi tangan bengkak karena sengatan tawon ganda yang menyengat kepala dan jempol, aku sangat kesulitan menjaga keseimbangan.
Saat sampai di bawah, aku langsung dibawa ke puskesmas terdekat. Namun aku kurang puas karena bukan puskesmas yang kumasuki, melainkan puskesmas pembantu yang sangat kecil dan memprihatinkan kondisinya. Aku hanya diberi paracetamol dan antibiotik.
Setelah itu, 2 guruku menemaniku untuk kembali ke vila. Aku ditidurkan di kamar beliau. Pusing dan panas sekali tubuhku saat itu. Setelah tertidur kurang lebih 2 jam aku terbangun. Mereka memaksaku untuk makan siang. Akhirnya aku berjalan menuju ruang makan dengan jalan yang tidak stabil. Setelah makan aku ke kamarku. Saat di kamar aku tertidur lagi hingga sore. Tubuhku panas tinggi semalaman. Aku tidak berniat menghubungi kedua orang tuaku karena mereka pasti sangat sedih mendengar kondisiku saat itu.

Setelah melalui osis camp dengan panas tinggi dan rasa nyeri yang mengerikan, akhirnya kami menyudahi acara dan kembali ke asrama. Kondisiku membaik cepat sekali. Keesokan harinya raport kami dibagikan. Alhamdulillah aku mendapat peringkat 4 :)

Setelah itu aku bersama teman-teman kaltim lainnya pulang ke balikpapan. Kami mendapat libur selama 2 minggu...

No comments:

Post a Comment

Blog ini hanya memperbolehkan berkomentar dengan santun . Blog ini memperbolehkan anda untuk mempromosikan blog anda di komentar ini . Karena saya akan berkunjung balik ke blog anda . Mohon jangan menulis spam . Terima kasih

 
Images by Freepik