Tuesday, May 21, 2019

Painful enough, but made me stronger.


Hi. Kali ini saya mau membagikan pengalaman hidup saya yang cukup menyakitkan, dengan harapan agar dapat diambil hikmahnya bersama dan menjadi pelajaran bagi teman-teman untuk senantiasa menyayangi kedua orangtua terutama bagi kalian yang masih dalam perantauan:)


Sebagai anak tunggal, saya telah meninggalkan kota kelahiran saya (Balikpapan) sejak saya lulus SMP untuk bersekolah di suatu boarding school di Semarang. Sejak itu, Ayah saya memohon saya untuk bersekolah di Balikpapan saja mengingat beliau tak dapat hidup jauh dengan anak tunggalnya. Namun, saya bersikeras agar saya dapat merantau seorang diri. Setelah melalui berbagai perlawanan, saya menang. Akhirnya kedua orang tua saya memberi restu. Saya pun menghabiskan tiga tahun saya di SMA selalu dengan kesedihan acapkali libur semester usai karena ternyata it was that hard for me to leave both my hometown and parents. Thank God nilai saya cukup memuaskan. Setelah lulus SMA, saya berkuliah di Bandung. Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah yang telah saya tinggalkan selama 3 tahun memohon dengan berkata, “Nak, apakah kamu tega tidak menyaksikan masa tua Bapak?”

Menginjak semester II, Ayah meninggal dunia. Saat beliau masuk ICCU karena terkena serangan jantung, saya sempat menjenguk dan melihat beliau sangat kesakitan. Setelah menjenguk selama 3 hari, saya kembali ke Bandung karena terdapat banyak ujian. Namun, baru semalam saya berada di Bandung, seusai shalat subuh saya dikabari bahwa Ayah telah tiada. Yap, baru semalam! Mungkin Allah tidak ingin saya menyaksikan kematian Ayah..

Saat itu pukul 6 pagi. Saya didesak pulang ke Balikpapan oleh Ibu dengan harapan saya dapat melihat Ayah untuk yang terakhir kali sebelum dimakamkan. Namun, penerbangan Bandung-Balikpapan yang tersisa hanyalah jadwal sore. Tidak mungkin akan terkejar karena itu berarti saya akan tiba di Balikpapan pukul 20.30 malam. Akhirnya, saya memutuskan untuk pulang melalui penerbangan Jakarta-Balikpapan. Saya langsung mencari travel untuk ke Jakarta dengan bermodalkan nekat karena penerbangan yang saya pesan berangkat pukul 11 pagi.




Sepanjang perjalanan yang saya lakukan hanyalah menangis, menjerit kesakitan, dan memukul-mukul tas saya. I was too weak to face the truth. Tak lama kemudian, ada telepon masuk dari salah satu kerabat Ayah. Awalnya saya merasa senang karena mengira ternyata beliau (kerabat ayah) peduli dengan saya. Namun, beliau berkata: "Kamu dimana? Udah ya, gausah nungguin kamu dikuburnya. Kelamaan." Saya menjelaskan kepada beliau bahwa saya sudah dalam perjalanan ke Jakarta hanya untuk mengejar waktu agar saya dapat melihat pemakaman Ayah. Namun, beliau tetap mengotot. Emosi, saya mematikan telepon. Selang beberapa menit, sisi dewasa dari diri saya muncul. Saya berpikir pasti Ibu saya juga didesak agar Ayah dimakamkannya tidak usah menanti saya. akhirnya, dengan penuh keikhlasan, saya menghubungi Bibi saya dan menyuruhnya untuk menyampaikan kepada semua orang untuk tidak usah menanti saya.

Pengalaman tersebut masih membekas hingga saya menulis postingan ini. Sejak itu, saya menjadi pribadi yang sangat reaktif dan menganggap semua ini terjadi karena kesalahan saya - saya mengabaikan penderitaan Ayah saya yang selalu memendam kerinduan kepada anak semata wayangnya. Saya terus bersifat reaktif hingga saya menduduki semester III. Depresi, kehilangan motivasi untuk berkuliah selalu menghantui saya. Pikiran bahwa tidak ada gunanya saya untuk tetap hidup pun sempat berkali-kali menghampiri. Namun, pada semester IV (awal 2019) saya memimpikan adegan replay saat saya menjenguk Ayah di ICCU - janji yang pernah saya lontarkan ke Ayah yang sedang sekarat:
“Pak, jangan pergi dulu ya. Bapak kan pengen Dedek (saya) kuliah sampai S-3 di Jerman. Bapak jangan pergi dulu ya..”

Saya masih ingat raut wajah beliau setelah saya mengatakan itu. Saya dapat melihat semangat Ayah yang tiba-tiba terpancar dari wajahnya untuk melawan sakitnya agar tetap bisa hidup - menyaksikan anak semata wayang yang sangat mencintainya lulus dari universitas di Jerman.

Mulai saat itu, saya berjanji kepada diri saya untuk bersifat proaktif terhadap semua yang telah terjadi. Saya meyakini bahwa kepergian Ayah saya menjadikan saya wanita yang lebih kuat, tahan banting, dan mandiri. Janji yang saya lontarkan kepada Ayah saya ketika ia sekarat akan selalu saya jadikan motivasi agar saya dapat meraih mimpi saya untuk tamat hingga S-3 dan berkuliah di Jerman.

Untuk teman-teman yang dalam perantauan dan kesehariannya selalu sibuk, tolong sempatkan untuk mengabari kedua orang tua kalian. Mungkin sebatas chat WA pun sudah cukup. Percayalah, membaca dan mengetahui kabar kalian akan membuat orang tua kalian tersenyum dan bahagia :) Jangan ulangi kesalahan saya yang jarang menghubungi kedua orang tua saya, terutama Ayah saya.

No comments:

Post a Comment

Blog ini hanya memperbolehkan berkomentar dengan santun . Blog ini memperbolehkan anda untuk mempromosikan blog anda di komentar ini . Karena saya akan berkunjung balik ke blog anda . Mohon jangan menulis spam . Terima kasih

 
Images by Freepik